-

Peran BAZNAS dalam Membantu Kesejahteraan Masyarakat dan Korelasi dengan Ekonomi Syariah

09/11/2020 | Markom

Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Dr. Zainulbahar Noor, SE, M. Ec, memberikan pandangannya terkait peran zakat dalam membantu kesejahteraan masyarakat serta mengenai ekonomi syariah. Tidak berlebihan jika pandangan ini disampaikan oleh seorang tokoh ekonomi syariah yang juga pernah mendapat mandat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Kerajaan Hasyimiyah Yordania pada tahun 2009 hingga 2012 ini.

pak_waka_dan_istri

Dr. Zainulbahar Noor, SE, M. Ec, bersama istri usai menerima penganugerahan The first Class of Independence Medal (Wusam al-Istiqlal min al-Darajah of the Hadhemite Kingdom of Jordan dari Raja Abdullah II, sebagai pengakuan (recognition) atas performa pada penugasan sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Kerajaan Hasyimiyah Yordania tahun 2012

 

Saat menjalankan amanahnya menjadi duta besar, Zainulbahar Noor dianugerahi First Class of Independence Medal (Wusam al-Istiqlal min al-Darajah of the Hashemite Kingdom of Jordan) yang ditandatangani dan diserahkan oleh Raja Abdullah II kepada Zainulbahar Noor pada tahun 2012.

Penghargaan ini sebagai bentuk pengakuan (recognition) atas performa pada penugasannya yang dinilai berprestasi dalam meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Yordania.

Tokoh kelahiran kota Binjai, Sumatera Utara ini lulus pendidikan S-1 dan S-2 dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU), dan lulus S-3 bidang Ekonomi dan Keuangan Islam dari Universitas Trisakti Jakarta pada tahun 2015. Beliau mengawali karir di dunia perbankan di Citibank N.A. pada tahun 1972 hingga 1982, sebelum akhirnya menjadi Direktur PT. Bank Pacific tahun 1985 hingga 1991.

Kemudian beliau menjadi Direktur Utama PT. Bank Muamalat Indonesia pada masa awal berdiri yakni tahun 1991 hingga 1996. Dalam menapaki masa senjanya, Zainulbahar Noor masih tetap menunjukkan kontribusinya dalam berbagai bidang ekonomi Syariah diantaranya menajdi Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ketua Bidang Wakaf ICM. Tak hanya itu, saat ini beliau juga dipercaya menduduki posisi penting di Badan Pengelola Zakat Negara yakni BAZNAS dengan menjabat sebagai Wakil Ketua untuk periode 2015 hingga 2020. 

Berbicara mengenai peran lembaga zakat, bagaimana pendapat Zainulbahar Noor mengenai hal ini? Apa langkah konkrit BAZNAS dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia? Berikut adalah beberapa petikan wawancaranya.

Sebagai salah seorang Pimpinan BAZNAS periode 2015-2020, beliau terlibat bersama Komisioner dan Eksekutif, dalam kegiatan BAZNAS mendesain program-program pendistribusian dan pendayagunaan secara terencana, termonitor dan terukur sedemikian rupa sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Program-program tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa aksi seperti: (1) pendistribusian zakat kepada fakir miskin, termasuk pemberdayaan peternak dan petani fakir miskin; (2) layanan keuangan mikro fakir miskin; (3) peningkatan kesejahteraan usaha-usaha mikro masyarakat kelas bawah; (4) pemberian beasiswa dan bantuan pendidikan bagi fakir miskin; (5) fasilitas kesehatan tingkat pertama bagi mustahik; (6) pemberdayaan mustahik berbasis kelompok (Zakat Community Development) di desa tertinggal; (7) layanan bergerak (mobile) akses kedaruratan fakir miskin; (8) respon kebencanaan; (9) pendidikan dan asrama gratis berkualitas untuk fakir miskin; (10) bantuan, advokasi dan bimbingan untuk para Muallaf di tanah air.

Berdasarkan survei Indeks Kesejahteraan BAZNAS (IKB) yang dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis (PUSKAS BAZNAS) pada tahun 2019, BAZNAS Pusat berhasil mengentaskan kemiskinan mustahik prioritas pertama yaitu mereka yang perhasilan perkapitanya di bawah Garis Kemiskinan standar BPS (Rp. 1,9 jt/kk/bulan) sebanyak 13.202 jiwa. Sementara untuk mustahik prioritas kedua yaitu kategori kemiskinan Had Kifayah atau berpenghasilan di atas Garis Kemiskinan BPS dan di bawah standar batas kecukupan minimum/Had Kifayah (Rp. 3,1 juta/kk/bulan), BAZNAS Pusat berhasil mengentaskan 6.029 jiwa.

Adapun untuk mustahik prioritas ketiga atau kategori rentan miskin di mana penghasilan berada di atas Had Kifayah tetapi masih di bawah Nisab zakat (Rp. 4,6 juta/kk/bulan), BAZNAS Pusat berhasil mentransformasikan mustahik menjadi muzakki sebanyak 1.576 jiwa. PUSKAS BAZNAS juga merilis hasil pengentasan kemiskinan oleh 600 lebih lembaga zakat secara nasional yaitu untuk prioritas pertama berhasil dientaskan sebanyak 126.704 jiwa. Prioritas kedua berhasil dientaskan 43.271 jiwa dan prioritas ketiga berhasil ditransformasikan mustahik menjadi muzakki sebanyak 9.024 jiwa. Dalam hal ini, maka kontribusi zakat dalam penurunan kemiskinan sebagaimana data BPS tahun 2019 adalah sebesar 16%. Ini adalah bukti dari efektivitas zakat dalam pengentasan kemiskinan.

Bagaimana BAZNAS membangun sinergi yang baik antara BAZNAS Pusat dengan BAZNAS Daerah yang jumlahnya mencapai ratusan?

Pensinerjian antara BAZNAS Pusat dengan BAZNAS Daerah (Provinsi, Kabupaten-Kota) merupakan salah satu bagian penting dari kegiatan Komisoner BAZNAS 2015-2020. Hal yang tidak mudah dan belum mencapai titik optimal dalam keadaan rentang organisasi BAZNAS Pusat meliputi kegiatan 34 BAZNAS Provinsi dan 514 BAZNAS Kabupaten-Kota. Sinerji antara semua lembaga ini berjalan hanya baru sebatas dalam lingkup pelaksanaan UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Bahwa BAZNAS Pusat dan BAZNAS Daerah secara organisasi tidak dalam struktur sentralisasi semua kebijakan pokok dan pengaturan kegaitan BAZNAS Daerah langsung berada di bawah garis-komando (chain of command) BAZNAS Pusat. Bahwa sebagai Lembaga Negara Non-struktural Pimpinan BAZNAS Provinsi, Kabupaten-Kota ditentukan oleh Kepala Daerah terkait. BAZNAS Pusat hanya dimintai pertimbangan oleh Kepala Daerah yang mengajukan nama-nama calon pimpinan BAZNAS di daerahnya. Pimpinan BAZNAS Daerah bertanggung jawab ke Kepala Daerah masing-masing dengan fungsi pelaporan BAZNAS Pusat yang mempunyai fungsi koordinasi. Desentralisasi struktur dan pengelolaan zakat diharapkan dapat disentralsasikan di BAZNAS Pusat melalui amandemen UU No 23/2011 yang Alhamdulillah dalam hal pelaksanaan Amandemen ini BAZNAS Pusat telah mendapat dukungan penuh dari Komisi-8 DPR-RI. Melalui amandemen ini diharapkan pengolaan zakat semakin terpadu di masa datang.

pak_waka_penghargaan

Medali dan pernyataan dari Raja Abdullah II dalam The First Class of Independence Medal (Wusam al-Istiqlal min al-Darajah of the Hadhemite Kingdom of Jordan yang diterima oleh Dr. Zainulbahar Noor, SE, M. Ec tahun 2012.

Majelis Ekonomi Syariah (MES) adalah salah satu lembaga yang kegiatannya terkait erat dengan pelaksanaan ekonomi Syariah di tanah air. Adakah korelasi, keterkaitan antara MES dengan BAZNAS?

MES adalah organisasi yang bergerak di lingkungan ekononomi dan keuangan Syariah hampir sama masanya dengan Bank Muamalat. Di dalam MES terhimpun lembaga-lembaga Syariah, termasuk BAZNAS. Pucuk pimpinan MES telah berkali-kali diemban oleh pejabat tertinggi Lembaga Negara OJK. Dalam pada itu pimpinan dan beberapa Direksi BAZNAS duduk di dalam Kepengurusan MES pada tingkatnya masing--masing. Keadaan ini memungkinkan terjalinnya hubungan MES dengan BAZNAS dalam hal-hal yang disepakati. Pada periode Keanggotaan/Komisioner BAZNAS 2015-2020 telah terdapat beberapa rintisan kerjasama yang sesungguhnya dapat lebih diperluas dan ditingkatkan, yang akan dilanjutkan oleh Keanggotaan/Komisioner BAZNAS 2020-2025.

Jika ada keterkaitan tersebut, bagaimana komitmen MES dan BAZNAS dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masayarakat dan membantu pengentasan kemiskinan di Indonesia?

Kehidupan bangsa yang adil dan makmur terwujud apabila tidak terdapat kesenjangan begitu lebar antara kelompok kaya dan miskin, dan dalam keadaan jumlah penduduk miskin dapat terentaskan secara signifikan atau ternihilkan. Keadilan dalam pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan tercapai apabila jumlah zakat yang dibayar oleh muzaki tercapai optimal. UU No. 23/2011 Pasal 3 mengamanahkan BAZNAS meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Pusat Kajian Strategis (PUSKAS) BAZNAS telah melaksanakan penelitian bahwa Potensi Zakat Indonesia (2019) sebesar Rp 327,6 Triliun (T) yang terbesar diantaranya: Zakat Penghasilan & Jasa Rp 139,97T, Zakat Perusahaan Publik Rp 100T, Zakat Deposito Rp. 58,76T. Melalui kerjasama MES dengan BAZNAS dan OJK dalam teknis pelaksanaan penerimaan pembayaran zakat dari setiap area potensi zakat tersebut di atas, akan terhimpun bagian terbesar dari potensi zakat dimaksud sekitar Rp. 165,72T. Yaitu melalui Peraturan OJK untuk pengenaan Zakat Perusahaan publik, Zakat Deposito dan Pembayaran Zakat Penghasilan & Jasa di segenap badan dan lembaga yang berada di bawah nuangan OJK: Pasar Modal, Semua Lembaga Perbankan, dengan Zakat Profesi semua SDM Muslim terkait (yang dapat mencapai sekitar 5% dari potensi Zakat Penghasilan & Jasa Rp. 139,07T). Pengumpulan zakat Rp 165,72T merupakan peningkatan lebih 10 kali (1.000%) dari total pengumpulan zakat nasional pada 2020 sebesar Rp 12T. Dengan jumlah zakat sebanyak itu, pengentasan kemiskinan dan pensejahteraan masyarakat dapat tercapai begitu rupa sehingga dapat menurunkan tingkat kemiskinan nasional secara signifikan.

pak_waka_presiden

Foto bersama Bapak Joko Widodo, Walikota Solo, pada kunjungan Beliau ke Amman pada April 2009 bersama Dr. Rahmat Ismail (dari Majallah FORUM) di depan jalan masuk ke World Heritage PETRA, Yordania, pada ketika Zainulbahar Noor menjabat sebagai Duta Besar LBBP untuk Kerajaan Yordania.

Sebagai Wakil Ketua BAZNAS dan salah satu Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), menurut Bapak bagaimana perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia?

Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa penerapan ekonomi Syariah di Indonesia dimulai pada ketika Bank Muamalat sebagai lembaga keuangan Syariah pertama di tanah air beroperasi pada 1 Mei 1992. Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin pada Dies Natalis UMI 23/6/2020 menyatakan bahwa pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah masih jauh dari harapan. Indeks literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia masih rendah di bawah 10%, yaitu: 8,93% terkait literasi keuangan syariah, dan 9,1% terkait indeks keuangan syariah. Hal yang menggembirakan, pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 20/2020 tentang Komite Nasional Keuangan dan Ekonomi Syariah (KNEKS) berupa regulasi mendorong perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia yang tidak hanya mengutamakan peningkatan aset keuangan syariah, tetapi juga mendorong sektor riil industri halal. Hal ini sejalan dengan Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yang disusun oleh BAPPENAS. Di bidang perbankan Total Aset Bank Syariah pada akhir 2020 akan mencapai antara Rp 516T ke Rp 553T, peningkatan antara 7,3%-14%. Terkait produsen produk halal, The Global Islamic Economy Index 2018/2019 menempatkan Indonesia di posisi ke 10 produsen produk halal dunia. BAZNAS pada dasarnya adalah murni sebuah lembaga keuangan Syariah yang terlibat penuh dalam pengumpulan dana (Muzaki) serta Infak dan Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL), pendistribusian dan pendayagunaan dana ini kepada 8 Asnaf sesuai dengan amanah Allah SWT di dlm AQ. Kegiatan BAZNAS adalah setara dengan kegiatan lembaga keuangan perbankan Syariah dalam hal-hal tersebut. Karena itu pulalah, Ketua BAZNAS Bpk Prof Bambang Sudibyo, bersama Wakil Ketua BAZNAS telah mengajukan kepada Ketua OJK Dr. Muliaman Hadad untuk dipertimbangkan agar BAZNAS berada dalam lingkup pengawasan OJK. Hal ini diharapkan akan jelas diatur di dalam hasil amandemen UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

Apa yang menjadi fokus utama dalam penerapan ekonomi Syariah di Indonesia?

Adalah The State of Global Economic Report 2018/2019 yang memperkirakan total pengeluaran Muslimin sedunia mencapai USD 2,1T pada 2017 atau 0,27% dari total produk bruto dunia yang berasal dari konsumsi makanan halal, fesyen, media, rekreasi, travel serta farmasi dan kosmetik. Master Plan BAPPENAS menyasar 4 target capaian. Pertama: peningkatan skala usaha ekonomi dan keuangan syariah, dgn 4 strategi utama: 1. penguatan industri makanan dan minuman halal, pariwisata, fesyen Muslim, media, rekreasi ,industri farmasi dan kosmetika dan energi terbarukan, 2. penguatan keuangan Syariah, 3. penguatan UMKM, dan 4. penguatan ekonomi digital. Fokus utama pengembangan ekonomi syariah adalah sektor riil, yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional khususnya sektor produksi dan jasa, terutama yang telah berlabel halal per UU No. 33/2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Global Islamic Economic Report 2018-2019 menempatkan Indonesia pada peringkat pertama dalam kriteria top Muslim food expenditure. Total konsumsi halal di Indonesia lebih USD 200 miliar, 36% dari total konsumsi rumah tangga dan lembaga non profit yang melayani rumah tangga, atau 20% dari total PDB Indonesia.

Bagaimana perjalanan pemerintah mengatur sistem Ekonomi Syariah hingga akhirnya masuk ke dalam sistem perundang-undangan di Indonesia?

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pada ketika Bank Muamalat beroperasi sebagai Bank Syariah pertama di tanah air pada 1 Mei 1992, penerapan ekonomi Syariah ini total tanpa didukung oleh perundang-undangan semestinya. Dapat dikatakan bahwa pengoperasian bank ini adalah atas dasar "instruksi" Presiden Soeharto kepada Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk Izin Prinsip kemudian diikuti Izin Operasional Bank Muamalat harus dikeluarkan segera. Ketika Menteri Keuangan Sumarlin akan membubuhkan tandatangan persetujuannya, Alm KH Hasan Basri memaparkan ke saya sebuah "pertanyaan kunci" sebagai persyaratan yang harus dipenuhi ketika Menteri Keuangan persis akan membubuhkan tandatangannya di atas SK Menteri Kuangan untuk Izin Prinsip Bank Muamalat, apakah boleh kata yang digunakan di dalam Ketentuan tersebut adalah kata Syariat, bukan kata Syariah (yang dengan cepat disetujui oleh Almarhum).

UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan (ditandatangani Presiden Soeharto 25/3/1992, hanya sebulan seminggu sebelum Bank Muamalat beroperasi 1 Mei 1992), baik di Bab I Ketentuan Umum maupun di Bab III Jenis dan Usaha Bank sama sekali tidak mengatur tentang Perbankan Syariah yang dioperasikan dengan prinsip Syariah tersebut. Satu-satunya Pasal yang dijadikan dasar adalah Pasal 6: "Bank menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”. Baru enam tahun kemudian UU RI No. 7 Thn 1992 Tentang Perbankan diubah menjadi UU RI No. 10 Thn 1998 yang dengan jelas pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Nomor 12 menegaskan bahwa “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain.....” diikuti dengan aturan-aturan lainnya.

UU RI Tentang Perbankan Syariah baru dilengkapi oleh pemerintah 10 tahun kemudian melalui UU RI No 21 Thn 2008 Tentang Perbankan Syariah. Setelah lahirnya Bank Muamalat sebagai bank Syariah pertama, menyusul Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Bursa Efek Syariah, Surat Berharga Syariah dsb, yang setiapnya diatur dengan UU dan PP tersendiri seperti misalnya UU RI No. 19 Thn 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU RI No. 38 Thn 1999 Tentang Pengelolaan Zakat (yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 Thn 2011), UU RI No. 41 Thn 2004 Tentang Wakaf, dsb.

Apa saja yang menjadi dasar-dasar hukum dalam penerapan ekonomi Syariah di Indonesia?

Dasar hukum penerapan ekonomi Syariah di Indonesia di luar dari diterbitkannya berbagai UU RI seperti dipaparkan di atas, adalah adanya kebijakan pemerintah dalam pendirian Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan pelaksanaan rencana pembangunan nasional bidang keuangan dan ekonomi Syariah, dengan diketuai sendiri oleh Presiden RI, Wakil Ketua selaku Ketua Harian: Wakil Presiden RI dan Sekretaris Merangkap Anggota: Menteri Keuangan RI. PP 91/2016 tentang KNKS telah dicabut, digantikan dengan PP No. 28/2020 Tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang diundangkan dan berlaku per 10 Februari 2020. KNEKS dibentuk untuk menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka Dunia tahun 2024. Pada tahun 2014 Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral dalam upaya nyata pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah di Indonesia, telah menyelenggarakan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) dengan visi mendorong ekonomi dan keuangan Syariah sebagai arus utama kebijakan nasional dan internasional dan menjadikan Indonesia sebagai referensi dunia dalam pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah. Pada Webinar KNEKS Indonesia menuju Pusat Produsen Halal Dunia beberapa minggu yang lalu, Wakil Presiden meminta para menteri untuk merumuskan langkah bagi Indonesia untuk menjadi pusat produsen halal dunia pada 2024. Di acara ISEF ke 7, dalam kerjasama BI dan KNEKS, dalam Sambutannya Presiden telah menegaskan kembali hal tersebut, dan untuk Indonesia menjadi Pusat Ekonomi Syariah di tingkat global. Hal ini sangat mendasar sebagai kekuatan hukum dalam penerapan ekonomi Syariah di Indonesia.

Bagaimana perkembangan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di dunia Internasional, Apakah ada dampak positif bagi Indonesia?

MES yang dipenuhi dan dikelola oleh tokoh-tokoh profesional dengan diketuai oleh pejabat tinggi Negara: Ketua OJK, telah berkembang pesat sebagai organisasi yang semakin mapan. Jauh sebelum pendeklarasian pendiriannya pada 26 Maret 2001, pada awal pendirian Bank Muamalat saya bersama Almarhum Bpk Drs. Amir Radjab Batubara mengikuti rapat pertama dan beberapa rapat berikutnya dengan pencetus pendirian lembaga ini, Bapak Iwan Ponco dan Bapak Aries Muftie yang mengundang beberapa lembaga keuangan dan berbagai lembaga dan asosiasi untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang pada ketika itu masih dalam cikal bakal pendiriannya. Sekarang MES tidak saja berdiri di seluruh provinsi tetapi juga telah mengglobal, telah mempunyai Cabang-cabang di Aljazair, Mesir, Jerman, Arab Saudi, Jepang, Malaysia dan Australia. Kehadiran MES di dunia internasional ini, akan mempercepat pelaksanaan Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yang disusun BAPPENAS, serta perwujudan Visi KNEKS dan tekad Presiden untuk Indonesia menjadi Pusat Ekonomi Syariah Global pada tahun 2024.

Hal mendasar apa yang menjadikan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional itu berbeda?

Ekonomi Syariah dilaksanakan berdasarkan Al Quran dan al-Hadits. Ekonomi Konvensional atas dasar sistem kapitalisme liberalisme, dan bentuk lain: ekonomi sosialis dalam penguasaan pengaturan pemerintah. Ekonomi Syariah dilandasi oleh komponen ajaran Islam: Aqidah yaitu keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan manusia, Syariah yang mengatur kehidupan seorang muslim baik dalam hubungan dengan Allah SWT dan hubungan antar manusia dan Akhlaq, prilaku dan kepribadian sebagai seorang muslim yang taat. Sementara itu komponen yang menentukan dalam ekonomi konvensional kapitalis dan liberalis adalah kekuatan pasar, sementara dalam ekonomi sosialis segala pengaturan ekonomi berada di tangan negara, yang ke dua-duanya jauh dari memperhatikan hal terkait dengan akhlak. Ekonomi Syariah mencegah ketidak adilan, dan menerapkan pemerataan kesejahteraan seperti misalnya tercermin dari kewajiban membayar zakat untuk membantu mereka (asnaf) yang membutuhkan utk kehidupan layak jauh dari kemiskinan, termasuk kedermawanan berupa pemberian infak dan sedekah. Dalam ekonomi Syariah penetapan nilai tambahan terhadap jumlah pengembalian, atau riba adalah sesuatu yang sama sekali tidak dibenarkan (haram, QS Ali Imron: 130), termasuk di dalamnya bunga bank.

pak_waka_doc

Penetapan dari Raja Abdullah II dalam penganugerahan The First Class of Independence Medal (Wusam al-Istiqlal min al-Darajah of the Hadhemite Kingdom of Jordan) kepada Dr. Zainulbahar Noor, SE, M. Ec, Duta Besar LBBP RI untuk Kerajaan Hasyimiyah Yordania tahun 2012.

Apakah Indonesia menerapkan sosialisasi dan pemasyarakatan ekonomi Syariah, sudah ada langkah konkritnya?

Pelaksanaan ISEF oleh BI adalah salah satu contoh langkah konkrit dalam pensosialisasian dan pemasyarakatan ekonomi Syariah secara kolosal. Oleh karena lingkup ekonomi Syariah sangat luas dengan demikian banyak berbagai produk hampir disemua aspek ekonomi, sosialisasi harus dilakukan per area dimaksud. Seperti misalnya dalam sosialisasi Asuransi Syariah dengan penekanan pelaksanaan tolong menolong di mana para peserta menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim jika ada peserta yang mengalami musibah. Sosialisasi ini lain coraknya dengan sosialisasi Bursa Efek Syariah. Sosialisasi dan pemasyarakatan yang harus digencarkan adalah ekonomi Syariah termasuk dalam kurikulum ajar mengajar dari tingkat sekolah menengah hingga ke perguruan tinggi, yang rasanya masih luput dari perhatian pemerintah dalam tekad ingin menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Global pada 2024.

Baru-baru ini pemerintah baru saja mengambil keputusan penting dalam dunia perbankan syariah, yakni melakukan merger Bank Syariah BUMN, bagaimana Bapak memandang fenomena ini?

Merger BRI Syariah Tbk, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah untuk telah tuntas pada Februari 2021 adalah salah satu langkah strategis pemerintah dalam menuju Pusat Ekonomi Syariah Global 2024, sejalan dengan visi OJK untuk mengonsolidasi sektor perbankan dan meningkatkan Bank Syariah. OJK melalui merger ini mengharapkan tercapainya efisiensi melalui skala ekonomi. Dengan mergernya ketiga Bank Syariah BUMN pasar perbankan Syariah yang selama 28 tahun sejak Bank Muamalat berdiri pangsa pasarnya masih di bawah 10% dapat ditingkatkan mencapai 20% seperti yang telah dicapai oleh Malaysia.

Harapan untuk Merger Bank Syariah BUMN dengan Total Aset antara Rp 220-225 Triliun akan menempatkannya dalam 10 besar Bank Syariah global yang tentu saja dengan portofolio terbesar adalah pembiayaan ke Korporasi. Keadaan ini harus diimbangi dengan peningkatan peran bank-bank Syariah swasta dalam melayani UMKM yang dalam kenyataan hanya menerima kredit/pembiayaan bank sebesar 14% dibandingkan kredit/pembiayaan ke Non UKM 86% dengan perbandingan jumlah badan usaha Usaha Mikro 98%, Usaha Kecil 1,5% dan Usaha Menengah 0,4% dan Usaha Besar hanya 0,1% dari total jumlah 60 juta badan usaha di Indonesia.

Apa saja tantangan yang muncul dalam upaya pencapaian Ekonomi Syariah di masyarakat?

Jangkauan pelayanan perbankan Syariah dan total fasilitas pembiayaan yang dapat diberikan tergantung pada besarnya jumlah modal disetor dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penempatan dana yang terkumpul. Peningkatan jumlah modal disetor menjadi hambatan berat bagi pertumbuhan Bank Syariah. Hal tersebut telah terjadi di bank Syariah pertama Bank Muamalat. Pada proses pendiriannya, Presiden Soeharto dengan dimotori oleh ICMI-Ketua Umum ICMI (dan MenRistek pada ketika itu) BJ Habibie bersama Ginanjar Kartasasmita (Menteri BAPPENAS), Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian), Azwar Anas (Menko Kesra) dan Sahid Sukamdani Gitosarjono (Pengusaha) telah menghimpun semua aghnia Muslim dan badan-badan usaha Muslim (termasuk korporasi dengan Direksi Muslim) untuk membeli saham perdana Bank Muamalat mencapai lebih dari Rp 80 Miliar. Dilanjutkan dengan penjualan Saham Perdana kepada masyarakat Muslim di Istana Bogor oleh Presiden Soeharto pada Minggu, 3 November 1991, dengan total dana terhimpun melebihi Rp 100 Miliar. Penambahan modal setelah itu adalah dari Islamic Development Bank (IsDB) sebesar 33%, bersamaan dengan pembelian saham Bank Muamalat oleh Pengusaha Muslim Dr Syaiful Amir sebesar Rp 50 Miliar. Pada tahun-tahun berikutnya diikuti oleh pembelian saham Bank Muamalat oleh IDF-BNF-Atwil (Sedco) Saudi Arabia sebesar 24,23%, Boubyan dan NBK Kuwait 30,45%, yang telah mengakibatkan saham milik umat Islam Indonesia dari pemilik 100% bank ini terdilusi turun ke hanya sekitar 13% (2020). Rencana Presiden Soeharto untuk melaksanakan penjualan saham Bank Muamalat di setiap provinsi terhambat oleh berbagai hal. Sementara kalangan aghnia umat Islam tidak menunjukkan minat membeli saham bank ini.

Dalam keadaan seperti itu, pembelian saham Bank Muamalat oleh Bank BUMN dalam jumlah yang dibutuhkan (pada posisi Bank Muamalat sebagai bank Syariah pertama yang didirikan oleh dan merupakan legacy dari Presiden kedua RI), atau penempatan dana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai investasi di lembaga perbankan Syariah (Bank Muamalat) merupakan salah satu tantangan terbesar pemerintah dalam pencapaian pengembangan ekonomi Syariah di tanah air. Presiden RI ketujuh Joko Widodo diharapkan mengikuti kebijakan menentukan Presiden Soeharto pada ketika pendirian Bank Muamalat 28 tahun yang lalu. Presiden Joko Widodo diharapkan dapat mengulangi “instruksi” kepada Menteri terkait bagi pelaksanaan hal tersebut. Bank Muamalat kemudian ditetapkan sebagai Bank swasta terbesar dalam mendanai UMKM. Kebijakan seperti ini akan semakin memperkuat tekad Presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Dunia pada 2024, tidak sebaliknya.

Tantangan lainnya adalah tidak mudahnya bank Syariah dalam menerapkan produk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, yang mengakibatkan fasilitas pembiayaan didominasi oleh fasilitas pembiayaan Murabahah, jual beli, yang secara salah kerap dipersamakan oleh masyarakat dengan pengenaan bunga (yang sesungguhnya sangat jauh berbeda bagi yang memahami). Sementara itu dalam penghimpunan dana masyarakat, bank Syariah dengan menggunakan sistem bagi hasil melalui nisbah, tidak mudah bersaing dengan tingkat bunga bank-bank konvensional. Tantangan terberat lainnya, adalah relatif tidak sedikitnya pengusaha penerima pembiayaan yang tidak jujur dalam memanfaatkan sistem perbankan Syariah yang tidak mengenakan sistim bunga berbunga seperti di bank konvensional atas ketersendatan pelunasan pembiayaan yang menjadi kewajiban mereka.

Dapatkan Update Berita dan Informasi Penyaluran Zakat, Infak, dan Sedekah.

Follow us

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ