
Hadits Tentang Bulan Safar: Menepis Mitos dan Keyakinan yang Salah
Hadits Tentang Bulan Safar: Menepis Mitos dan Keyakinan yang Salah
04/08/2025 | Humas BAZNASBulan Safar seringkali dikaitkan dengan berbagai mitos, takhayul, dan keyakinan yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Dalam masyarakat, bulan ini dianggap membawa sial, penuh musibah, dan tidak baik untuk melakukan kegiatan penting seperti pernikahan atau memulai usaha. Namun, benarkah anggapan tersebut? Untuk menjawabnya, mari kita telusuri hadits tentang bulan Safar yang dapat memberikan pencerahan dan meluruskan kesalahpahaman yang berkembang di tengah umat.
Dalam Islam, segala sesuatu harus dikembalikan pada dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, memahami hadits tentang bulan Safar sangat penting agar umat tidak terjebak dalam keyakinan jahiliyah yang bertentangan dengan tauhid. Artikel ini akan membahas secara komprehensif berbagai hadits tentang bulan Safar, serta bagaimana Islam memandang bulan ini secara benar.
Melalui tulisan ini, diharapkan umat Islam dapat memperoleh informasi yang benar berdasarkan hadits tentang bulan Safar, sehingga mampu menepis mitos yang tidak berdasar dan memperkuat akidah dalam kehidupan sehari-hari.
Asal Usul Mitos Bulan Safar dan Pengaruhnya dalam Masyarakat
Sebagian besar masyarakat Arab jahiliyah dahulu meyakini bahwa bulan Safar adalah bulan penuh sial dan kemalangan. Keyakinan ini kemudian terbawa ke sebagian umat Islam hingga sekarang, terutama dalam hal larangan menikah, bepergian jauh, atau memulai usaha di bulan Safar. Padahal, tidak ada dalil shahih yang mendukung keyakinan tersebut. Bahkan, ada beberapa hadits tentang bulan Safar yang justru membantah anggapan tersebut.
Salah satu hadits tentang bulan Safar yang cukup terkenal adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"La ‘adwa, wa la thiyarata, wa la hammah, wa la shafara."
Artinya: "Tidak ada penularan penyakit tanpa izin Allah, tidak ada thiyarah (kesialan karena pertanda buruk), tidak ada hamah (burung pembawa sial), dan tidak ada bulan Safar."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Melalui hadits tentang bulan Safar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas menolak kepercayaan bahwa bulan Safar membawa sial. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang murni dari unsur takhayul dan mitos yang diwarisi dari zaman jahiliyah.
Sayangnya, masih banyak masyarakat Muslim yang tanpa sadar percaya bahwa bulan Safar adalah waktu yang tidak baik untuk melakukan kegiatan tertentu. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan hadits tentang bulan Safar, karena Nabi telah membatalkan pandangan negatif terhadap bulan ini.
Mitos tersebut juga memengaruhi sikap mental umat dalam menjalani hidup. Ketika seseorang takut melakukan sesuatu hanya karena waktunya bertepatan dengan bulan Safar, itu bisa menjadi bentuk syirik kecil. Oleh karena itu, penting bagi umat untuk merujuk kembali pada hadits tentang bulan Safar agar tidak terjebak dalam keyakinan yang salah.
Pendidikan dan dakwah sangat diperlukan untuk menghilangkan mitos seputar bulan Safar. Salah satu cara efektifnya adalah dengan terus mengedukasi umat tentang isi dan makna hadits tentang bulan Safar, baik melalui ceramah, kajian, maupun artikel seperti ini.
Penjelasan Ulama Berdasarkan Hadits Tentang Bulan Safar
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa bulan Safar tidak memiliki kekhususan yang negatif. Mereka merujuk pada berbagai hadits tentang bulan Safar yang secara eksplisit membatalkan segala bentuk keyakinan sial terhadap bulan ini. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa keyakinan masyarakat Arab terhadap bulan Safar sebagai bulan sial hanyalah khurafat yang diluruskan oleh Rasulullah melalui hadits-hadits yang shahih.
Dalam salah satu hadits tentang bulan Safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"La ‘adwa, wa la thiyarah, wa la safar."
Artinya: "Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, tidak ada kesialan karena burung, dan tidak ada bulan Safar."
(HR. Muslim)
Penjelasan ini menjadi hujjah kuat bahwa tidak ada alasan untuk menghindari kegiatan penting selama bulan Safar. Para ulama seperti Imam Nawawi menegaskan bahwa hadits tentang bulan Safar ini menunjukkan larangan mempercayai takhayul yang tidak berdasar, karena semua takdir sudah ditentukan oleh Allah SWT.
Jika ada musibah atau kesulitan yang terjadi di bulan Safar, itu bukan karena bulan tersebut membawa sial, melainkan bagian dari ujian hidup yang harus dihadapi. Penjelasan ulama terhadap hadits tentang bulan Safar ini menegaskan pentingnya tawakal dan keimanan yang benar dalam menyikapi peristiwa kehidupan.
Bahkan, beberapa ulama menambahkan bahwa menghindari bulan Safar bisa berakibat pada rusaknya tauhid, karena menandakan kepercayaan terhadap sesuatu selain Allah sebagai sumber kesialan. Pemahaman yang benar terhadap hadits tentang bulan Safar akan menuntun umat agar tidak menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.
Oleh sebab itu, memperkuat pendidikan agama yang berlandaskan dalil yang shahih, seperti hadits tentang bulan Safar, merupakan bagian dari upaya menjaga kemurnian akidah umat.
Relevansi Hadits Tentang Bulan Safar dalam Kehidupan Modern
Di zaman modern ini, kepercayaan terhadap mitos dan kesialan bulan Safar seharusnya tidak lagi memiliki tempat di hati umat Islam. Pemahaman terhadap hadits tentang bulan Safar menjadi sangat penting untuk membangun masyarakat yang rasional dan berlandaskan wahyu, bukan sekadar tradisi atau adat.
Saat ini, banyak kegiatan penting seperti pernikahan, akad jual beli, hingga pelantikan pejabat masih dihindari di bulan Safar. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh mitos tersebut, meski telah banyak hadits tentang bulan Safar yang membantahnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk menghapuskan kepercayaan yang keliru ini.
Sebagai umat Islam yang hidup di era digital, kita memiliki banyak akses terhadap ilmu pengetahuan agama. Menyebarkan informasi tentang hadits tentang bulan Safar melalui media sosial, dakwah daring, hingga khutbah Jumat merupakan langkah konkret dalam meluruskan pemahaman umat.
Contoh nyata penerapan hadits tentang bulan Safar dalam kehidupan modern adalah dengan tetap menjalankan aktivitas tanpa takut atau ragu hanya karena bulan Safar. Ini menunjukkan keimanan yang benar dan tidak tercampur dengan syirik kecil berupa rasa takut terhadap waktu tertentu.
Umat Islam hendaknya menjadikan hadits tentang bulan Safar sebagai pijakan dalam membentuk sikap terhadap waktu, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang, yakin, dan produktif.
Kembalilah kepada Hadits Tentang Bulan Safar untuk Meluruskan Keyakinan
Bulan Safar bukanlah bulan sial atau bulan yang membawa kesusahan. Semua keyakinan tersebut tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Justru, banyak hadits tentang bulan Safar yang dengan tegas menolak takhayul semacam itu dan menyeru umat untuk hanya percaya kepada Allah SWT sebagai pengatur segala takdir.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam berbagai hadits tentang bulan Safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memutus mata rantai kepercayaan jahiliyah yang menyesatkan. Maka dari itu, tugas kita sebagai umat Islam adalah menjaga kemurnian aqidah dengan tidak ikut-ikutan mempercayai mitos yang tidak memiliki dalil.
Pemahaman yang benar terhadap hadits tentang bulan Safar akan menjadikan kita lebih yakin, berani, dan tenang dalam menjalani berbagai urusan, baik dalam aspek dunia maupun akhirat.
Mari bersama-sama menyebarkan kebenaran ini kepada sesama Muslim, agar tidak ada lagi ketakutan atau anggapan sial terhadap bulan Safar. Karena hanya dengan kembali pada hadits tentang bulan Safar, kita bisa hidup dalam keyakinan yang lurus dan terbebas dari belenggu kebodohan masa lalu.
Dapatkan Update Berita dan Informasi Penyaluran Zakat, Infak, dan Sedekah.
Follow us
