Mentari dari Lereng Garut: Kopi, Doa, dan Harapan Petani Desa Mulyajaya

Mentari dari Lereng Garut: Kopi, Doa, dan Harapan Petani Desa Mulyajaya

24/05/2025 | Humas BAZNAS

Di antara hamparan kebun yang menghampar luas di kaki Pegunungan Garut Selatan, terdapat secangkir harapan yang terus diseduh setiap pagi oleh para petani Desa Mulyajaya, Kecamatan Banjarwangi. Kelompok tani perempuan "Mentari Pagi Darussyifa" adalah salah satu saksi hidup bagaimana mimpi bisa tumbuh dari tanah yang dulu hanya ditanami jagung dan digunakan untuk sekadar menahan longsor. Hari ini, tanah yang sama telah menjadi ladang berkah berkat tanaman kopi yang mereka rawat penuh cinta dan ketekunan.

Adalah Bu Iim dan Bu Engkem, dua sosok perempuan tangguh yang jadi tulang punggung kelompok ini. Meski seharian berkutat di kebun, memikul panen, membersihkan gulma, dan memeriksa kondisi pohon kopi satu per satu, senyum mereka tak pernah hilang dari wajah. “Capek mah iya, tapi kalau bersyukur, capeknya jadi ringan,” ujar Bu Iim sambil terkekeh kecil. Aura positif terpancar jelas dari mereka. Semangat dan syukur adalah energi utama yang mereka bawa setiap hari ke ladang.

Harga Kopi Naik, Harapan Petani Meninggi

Hari itu, Kamis, 15 Mei 2025, menjadi hari yang lebih spesial dari biasanya. Harga cherry coffee — kopi gelondongan hasil panen mereka — naik cukup signifikan hingga mencapai Rp13.000 per kilogram. Dari hasil panen hari itu yang mencapai 50 kilogram, mereka bisa membawa pulang Rp650.000. Bagi sebagian orang, angka ini mungkin tak begitu mencolok, namun bagi petani desa seperti mereka, ini adalah berkah yang amat besar. Terlebih lagi, hasil itu mereka raih dari kebun sendiri, dari bibit yang mereka tanam dan rawat dengan tangan mereka sendiri.

Kenaikan harga kopi ini bukan semata keberuntungan musiman. Beberapa tahun terakhir, kualitas kopi dari Garut mulai dilirik banyak pembeli. Tak sedikit bandar kopi yang kini langsung datang ke kebun untuk membeli langsung dari para petani, bahkan ikut memanen sendiri. Ini tentu saja menambah semangat para petani untuk terus membudidayakan kopi. Bibit-bibit baru segera ditanam, dan lahan-lahan yang tadinya dibiarkan kosong kini dipenuhi tanaman kopi yang mulai tumbuh subur.

“Kopi dulu tuh cuma tanaman pinggir, cuma buat nahan tanah biar gak longsor,” kata Bu Engkem. “Tapi sekarang malah jadi sumber penghasilan utama.”

Peran BAZNAS dan Muzaki: Menyiram Harapan Petani

Namun, semua keberhasilan ini tak tumbuh begitu saja. Di balik panen yang manis, ada proses panjang yang melibatkan pendampingan, pelatihan, dan bantuan modal yang berkesinambungan. Di sinilah peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menjadi sangat krusial. Melalui program Lumbung Pangan dan pendampingan pertanian terintegrasi, BAZNAS hadir sebagai sahabat setia bagi para petani di pelosok seperti Desa Mulyajaya.

Para muzaki — orang-orang dermawan yang menunaikan zakat melalui BAZNAS — telah menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan. Dari zakat yang mereka titipkan, BAZNAS bisa menyalurkan bantuan bibit unggul, pelatihan budidaya kopi yang ramah lingkungan, serta dukungan pemasaran hasil panen. Bahkan lebih dari itu, BAZNAS juga membangun kesadaran kolektif dan spiritual di kalangan petani.

“Kalau bukan karena bantuan bibit dari BAZNAS dulu, mungkin kita masih nunggu bandar datang ke sini dan tawar harga murah,” ungkap Bu Iim. “Sekarang kita punya kebun sendiri, harga juga bisa lebih baik.”

Program ini bukan hanya soal menghasilkan panen, tapi juga membangun kemandirian ekonomi berbasis komunitas. Para petani kini mulai membentuk koperasi kecil, menyusun strategi distribusi, bahkan sudah memikirkan branding kopi mereka. Semua ini adalah hasil dari proses pemberdayaan yang konsisten.

Kopi dan Keberkahan: Mimpi yang Menyeduh Masa Depan

Kopi bagi Kelompok Mentari Pagi bukan sekadar komoditas. Ia adalah simbol ketekunan, kerja keras, dan doa yang tak henti. Setiap biji kopi yang mereka panen membawa cerita tentang pagi-pagi buta yang dingin, tangan yang kotor oleh tanah, dan tawa yang menggema di antara sela semak.

Kini, dengan penghasilan yang meningkat dan pengetahuan yang bertambah, para petani perempuan ini mampu membantu ekonomi keluarga, menyekolahkan anak-anak mereka lebih tinggi, bahkan sebagian sudah bisa menabung untuk membangun rumah lebih layak.

Melalui kopi, mereka juga belajar tentang pentingnya kolaborasi — antara petani, lembaga pendamping seperti BAZNAS, dan para muzaki yang memilih untuk menyalurkan zakatnya dengan penuh tanggung jawab.

“Kami cuma bisa bilang makasih, semoga semua yang bantu kami dibalas Allah. Rezekinya berkah, keluarganya sehat,” ujar Bu Engkem haru.

Lereng Garut mungkin jauh dari gemerlap kota besar, tapi di sanalah kita bisa menemukan ketulusan yang paling murni. Dalam senyum Bu Iim dan Bu Engkem, dalam keranjang berisi cherry kopi yang matang sempurna, dalam ucapan syukur yang sederhana namun dalam, kita belajar bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil — dan bahwa setiap zakat yang kita keluarkan bisa menjadi pupuk bagi ribuan harapan yang sedang bertumbuh di desa-desa Indonesia.

Terima kasih, BAZNAS. Terima kasih, para muzaki. Karena kalian, mentari pagi benar-benar bersinar lebih cerah di Desa Mulyajaya.

Dapatkan Update Berita dan Informasi Penyaluran Zakat, Infak, dan Sedekah.

Follow us

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ